25.11.10
Deteksi Dini Kanker Usus Besar
Karena gejala awal tidak khas, banyak penderita yang dibawa ke rumah sakit saat kanker mencapai stadium lanjut.
Sakit perut. Itulah keluhan yang kerap dirasakan Prasetyo, 45 tahun, selama tiga tahun sebelum akhirnya divonis menderita kanker kolorektal (usus besar).
Awalnya, dia dinyatakan dokter menderita radang usus, sehingga hanya diberi obat antiradang, penghilang rasa sakit, dan antibiotik. Namun, obat-obatan itu tak pernah mampu menghilangkan keluhannya secara tuntas. Alhasil, sakit perut itu berulang, dan selalu berulang. Sampai suatu ketika, ia merasakan sakit yang hebat di perutnya.
Prasetyo pun kembali ke dokter. Kali ini, dokter mengatakan, ada perlengketan di usus besarnya sehingga harus dilakukan pembedahan. Sebagian usus besarnya pun dipotong. Selesai masalah? Ternyata tidak. Prasetyo yang perokok berat ini masih sering merasakan sakit di perut. Tubuhnya pun makin kurus, dan kerap mengalami diare. Penyebab dari sakit perut itu akhirnya diketahui lewat pemeriksaan di sebuah rumah sakit besar di Bandung. Kanker dipastikan telah bersarang di usus besar Prasetyo, dan telah mencapai stadium IV. Empat bulan setelah mendengar vonis ini, Prasetyo berpulang untuk selama-lamanya.
Kanker usus besar adalah salah satu jenis kanker yang cukup sering ditemui, utamanya pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih. Pada pria, kanker usus besar menempati urutan ketiga sebagai kanker tersering yang ditemui setelah kanker prostat dan paru-paru. Sementara pada wanita, kanker ini pun menempati urutan ketiga setelah kanker payudara dan paru-paru. ''Dari berbagai laporan, di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus (kanker usus besar), meskipun belum ada data yang pasti. Data di Departemen Kesehatan didapati angka 1,8 per 100 ribu penduduk,'' tutur dokter Adil S Pasaribu, SpB KBD, spesialis bedah dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta.
Kanker usus besar adalah tumbuhnya sel kanker yang ganas di dalam permukaan usus besar atau rektum. Kebanyakan kanker usus besar berawal dari pertumbuhan sel yang tidak ganas atau adenoma, yang dalam stadium awal membentuk polip (sel yang tumbuh sangat cepat).
Pada stadium awal, adenoma dapat diangkat dengan mudah. Hanya saja pada stadium awal ini, seringkali adenoma tidak menampakkan gejala apapun, sehingga tidak terdeteksi dalam waktu yang relatif lama. Padahal, adenoma yang awalnya tak menimbulkan keluhan apapun ini, pada suatu saat bisa berkembang menjadi kanker yang menggerogoti semua bagian dari usus besar.
Gejala awal yang tidak khas ini membuat banyak penderita kanker usus besar datang ke rumah sakit ketika perjalanan penyakit sudah demikian lanjut. Upaya pengobatan pun menjadi sulit. Padahal, seperti dikatakan Ketua Perhimpunan Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, dokter Aru Sudoyo SpPD KHOM, kunci utama keberhasilan penanganan kanker usus besar adalah ditemukannya kanker dalam stadium dini, sehingga terapi dapat dilaksanakan secara bedah kuratif. Sayangnya, hal seperti ini sangat jarang. Yang kerap terjadi adalah kasus seperti dialami Prasetyo, yakni kanker ditemukan pada stadium lanjut, sehingga harapan penderita untuk bertahan hidup menjadi sangat kecil.
Jika kanker usus besar ditemukan pada stadium I, peluang penderita untuk hidup hingga lima tahun mencapai 85-95 persen. Sementara bila ditemukan pada stadium II, peluang itu mencapai 60-80 persen, pada stadium III sekitar 30-60 persen, dan stadium IV sekitar 25 persen. ''Ini artinya, bila ada 100 penderita kanker usus besar stadium IV, maka yang masih hidup sampai lima tahun hanya lima orang,'' ucap Aru.
Deteksi dini
Untuk menghindari kemungkinan terburuk, seperti dialami Prasetyo, deteksi dini merupakan hal yang sangat penting. ''Deteksi dini atau skrining terhadap kanker ini, dapat menyelamatkan hidup,'' tegas Adil.
Dengan deteksi dini dapat ditemukan adanya polip prakanker, yaitu suatu pertumbuan abnormal pada usus besar atau rektum yang dapat segera dibuang sebelum berubah menjadi kanker. ''Jika semua orang yang berumur 50 tahun atau lebih melakukan skrining secara teratur, maka sebanyak 60 persen kematian akibat kanker kolorektal dapat dihindari,'' tuturnya.
Deteksi dini adalah investigasi pada individu asimtomatik (tanpa gejala) yang bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium dini sehingga dapat dilakukan terapi kuratif. Secara umum, urai Adil, deteksi dini dapat dilakukan pada dua kelompok, yaitu populasi umum dan kelompok risiko tinggi. Deteksi dini pada kelompok populasi umum dilakukan kepada individu yang berusia di atas 40 tahun. Sedangkan mereka yang tergolong kelompok berisiko tinggi, antara lain adalah mereka yang pernah menjalani polipektomi untuk adenoma di usus besar, dan orang-orang yang berasal dari keluarga dengan riwayat penyakit ini.
Terkait dengan riwayat keluarga, Anda tak perlu khawatir berlebihan jika berasal dari keluarga yang memiliki riwayat kanker usus besar. Menurut Adil, faktor genetik memang bisa menjadi penyebab munculnya penyakit ini, tapi faktor tersebut bisa dipersempit. Caranya, ubahlah pola makan Anda dan lakukan deteksi dini.
Penyebab dan gejala
Sejauh ini, penyebab kanker usus besar memang belum diketahui secara pasti. Hanya saja, ada beberapa hal yang diduga kuat berpotensi memunculkan penyakit ganas ini, yaitu: cara diet yang salah (terlalu banyak mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan protein, serta rendah serat), obesitas (kegemukan), pernah terkena kanker usus besar, berasal dari keluarga yang memiliki riwayat kanker usus besar, pernah memiliki polip di usus, umur (risiko meningkat pada usia di atas 50 tahun), jarang melakukan aktivitas fisik, sering terpapar bahan pengawet makanan maupun pewarna yang bukan untuk makanan, dan merokok.
Dalam buku Panduan Pengelolaan Adenokarsinoma Kolorektal disebutkan bahwa meskipun penelitian awal tidak menunjukkan hubungan merokok dengan kejadian kanker usus besar, namun penelitian terbaru menunjukkan, perokok jangka lama (30-40 tahun) mempunyai risiko berkisar 1,5-3 kali. Diperkirakan, satu dari lima kasus kanker usus besar di Amerika Serikat bisa diatributkan kepada perokok. Penelitian kohort dan kasus-kontrol dengan desain yang baik menunjukkan, merokok berhubungan dengan kenaikan risiko terbentuknya adenoma dan juga kenaikan risiko perubahan adenoma menjadi kanker usus besar. ''Karena itu untuk mencegah kejadian kejadian kanker usus besar dianjurkan untuk tidak merokok,'' kata Aru. Mengenai gejala kanker usus besar, Aru menyebut beberapa hal yang kerap dikeluhkan para penderita, yaitu:
* | Perdarahan pada usus besar yang ditandai dengan ditemukannya darah pada feses saat buang air besar. |
* | Perubahan pada fungsi usus (diare atau sembelit) tanpa sebab yang jelas, lebih dari enam minggu. |
* | Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. |
* | Rasa sakit di perut atau bagian belakang. |
* | Perut masih terasa penuh meskipun sudah buang air besar. |
* | Rasa lelah yang terus-menerus |
* | Kadang-kadang kanker dapat menjadi penghalang dalam usus besar yang tampak pada beberapa gejala seperti sembelit, rasa sakit, dan rasa kembung di perut. |
Untuk menangani kanker usus besar, menurut Aru, terapi bedah merupakan cara yang paling efektif, utamanya bila dilakukan pada penyakit yang masih terlokalisir. Namun, bila sudah terjadi metastasis (penyebaran), penanganan menjadi lebih sulit. Tetapi, dengan berkembangnya kemoterapi dan radioterapi pada saat ini, memungkinkan penderita stadium lanjut atau pada kasus kekambuhan untuk menjalani terapi adjuvan. Terapi adjuvan adalah kemoterapi yang diberikan setelah tindakan operasi pada pasien kanker stadium III guna membunuh sisa-sisa sel kanker.
Saat ini, terapi adjuvan bisa dilakukan tanpa suntik (infus), melainkan dengan oral/tablet (Capacitabine). Ketersediaan capacitabine tablet memungkinkan pasien untuk menjalani kemoterapi di rumah yang tentu saja efektivitasnya lebih baik. ''Capacitabine juga merupakan kemoterapi oral yang aman dan bekerja sampai ke sel kanker,'' kata Aru yang juga menjabat sebagai ketua Komisi Terapi Adjuvan, Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia.
Jurus Menangkal Kanker Usus Besar
Mencegah jauh lebih baik ketimbang mengobati. Hal itu juga berlaku pada kanker usus besar. Agar tak sampai terjamah penyakit mematikan ini, lakukan upaya pencegahan. Simak tips pencegahan dari dokter Adil S Pasaribu SpB KBD berikut ini:
* | Hindari makanan tinggi lemak, protein, kalori, serta daging merah. Jangan lupakan konsumsi kalsium dan asam folat. |
* | Setelah menjalani polipektomi adenoma disarankan pemberian suplemen kalsium. |
* | Disarankan pula suplementasi vitamin E, dan D. |
* | Makan buah dan sayuran setiap hari. |
* | Pertahankan Indeks Massa Tubuh antara 18,5 - 25,0 kg/m2 sepanjang hidup. |
* | Lakukan aktivitas fisik, semisal jalan cepat paling tidak 30 menit dalam sehari. |
* | Hindari kebiasaan merokok. |
* | Segera lakukan kolonoskopi dan polipektomi pada pasien yang ditemukan adanya polip. |
* | Lakukan deteksi dini dengan tes darah samar sejak usia 40 tahun. |
(nri/bur )
Sumber : http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=266724&kat_id=123
23.11.10
Relationship is the new currency
OBAMA, idola saya, datang. Anak Menteng itu akhirnya pulang kampung.Dalam kunjungan supersingkat yang diwarnai jadwal superpadat, Obamamenyempatkan berpidato di balairung UI, Depok, awal minggu ini. Saya hanya bisa menonton pidato tersebut dari televisi dan membaca script pidato yang disebarluaskan melalui social network. Ada perasaan iri, maaf, -superiri- terhadap Yoris Sebastian, Agam Poedjiwo, Enda Nasution, dan sahabat-sahabat lain yang memperoleh undangan untuk hadir di sana. Dalam pidato itu, Obama banyak bicara soal relationship - antara dirinya dengan keluarga. Relationship dengan orang-orang Indonesia. Relationship antara dua bangsa. Selain itu, relationship antargenerasi.
Relationship is a BIG word with an oven BIGGER meaning. Saya mengidolakan Obama karena kepiawaiannya untuk memaknai dan mengelola relationship dalam situasi apapun. Menjalani masa kecil dengan ayah sambung, berpindah tempat tinggal dengan kultur berbeda-beda, dan tumbuh dewasa tanpa orangtua cuma sebagian kecil dari tantangan hidup Obama. Sebagai orang yang sudah melalui hal-hal serupa, walaupun tidak sedramatis beliau, saya tidak habis pikir bagaimana Obama bisa mempertahankan ke " normal " an dalam menjalani hidup.
Relationship is about organizing reality. Obama mengatakan jika dirinya bukan president Amerika Serikat, bisa jadi tidak akan pernah diundang jamuan makan malam kenegaraan di Istana Merdeka. Ini bisa jadi benar. Namun, satu hal yang pasti,realitasnya Obama adalah president negara adidaya nonkulit putih pertama karena dukungan orang-orang terdekatnya. Ini contoh nyata bahwa hubungan dengan siapa pun akan mempertegas identitas diri. Passion, purpose, and values akan lebih terlihat jelas dengan kehadiran orang-orang yang tepat di sekeliling kita. Selain itu, orang-orang tersebut hanya akan hadir ( dan bertahan hadir ) apabila kita memberikan alasan yang tepat.
Our greatest joy and our greatest pain comes in our relationship with others Stephen Covey. Tidak mudah memulai, dan terlebih menjaga relationship dengan orang lain dalam konteks pribadi, bisnis, ataupun sosial. Namun ,apabila relationship dikelola dengan baik, segala hal terbaik akan datang tanpa dicari. Semua hal terindah akan terjadi tanpa perlu ditagih.
And the currency for relationship is called SINCERITY. relationship adalah " mata uang " perkembangan karier dan kehidupan. Selain itu, " mata uang " ini berdenominasi tunggal, yaitu ketulusan.
Perasaan iri saya dengan Yoris, Enda, dan Agam sudah tertebus. Saya sadar mereka adalah bagian dari generasi muda bangsa ini yang telah berkesempatan belajar langsung dari Obama. Melalui mereka, relationship kita dengan prinsip-prinsip ideal kehidupan akan terus terjaga. Candor datviribusalas.
Rene Suhardono-CareerCoach
Penulisbuku: "Your Job is NOT You Career"
Follow my twitter: @reneCC
11.11.10
Cara Menahan Pipis Saat Kondisi Darurat
Cara Menahan Pipis Saat Kondisi Darurat
Menahan pipis alias buang air kecil sangat tidak disarankan karena berbahaya bagi kesehatan ginjal. Tapi saat kondisi darurat seperti dalam perjalanan atau macet, orang terkadang diharuskan untuk menahan buang air kecil untuk beberapa waktu. Bagaimana caranya?
Dilansir Ehow, Kamis (11/11/2010), berikut beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menahan buang air kecil di saat darurat:
1. Relaksasi otot panggul atau latihan Kegel
Fokus dan cobalah merelaksasikan otot panggul dan perut pada saat yang sama, metode ini bisa membuat otot-otot yang mengelilingi uretra tertutup. Hal ini sangat mirip dengan melakukan latihan Kegel.
Cara senam kegel
Teknik senam Kegel yang mudah dilakukan caranya adalah kontraksikan otot seperti menahan kencing untuk awalnya selama 5 detik, kemudian kendurkan. Terus ulangi latihan tersebut setidaknya lima kali berturut-turut dengan meningkatkan lama waktu menahan kencing 15-20 detik.
Latihan ini tergolong mudah karena bisa dilakukan kapan saja dan hanya membutuhkan waktu beberapa menit. Latihan bisa dilakukan di kursi kerja, sambil duduk, sambil berjalan, sambil berdiri, atau berbaring.
Saat mengendarai mobil bahkan saat berada di kamar kecil pun dilakukan senam ini yang penting semua latihan ini dilakukan dalam keadaan tenang.
2. Silangkan kaki saat berdiri
Menyilangkan kaki dapat membantu Anda menahan buang air kecil saat sedang berdiri. Jangan menyilangkan kaki jika Anda sedang dalam keadaan duduk, tapi cobalah menyilangkannya dengan sedikit diangkat (gaya duduk laki-laki). Hal ini dapat menekan kandung kemih.
3. Duduk tegak
Jika Anda dalam keadaan duduk, cobalah duduk pada posisi tegak dengan punggung lurus agar memberikan ruang maksimal pada kandung kemih. Tekan paha secara bersamaan dan tidak bersandar.
4. Tidak ganti posisi
Usahakan tidak mengganti posisi Anda sebelum dapat pergi ke kamar mandi. Jika Anda semula dalam keadaan duduk, maka tetaplah duduk. Mengubah posisi tubuh dapat menyulitkan Anda menahan buang air kecil.
5. Alihkan pikiran
Mengalihkan pikiran untuk sementara waktu dapat membantu Anda menahan buang air kecil. Jangan berpikir apapun yang mengingatkan Anda dengan kamar mandi.
6. Minum banyak setelah pipis
Setelah ketemu toilet segera keluarkan kemih tersebut. Lalu minum banyak air agar Anda kembali buang air kecil untuk membuang racun dan bakteri yang tertinggal di saluran kemih.
Harus diingat, menahan buang air kecil dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan dampak yang serius, terutama pada organ ginjal.
Seperti yang disampaikan Dr dr Nur Rasyid, SpU saat dihubungi detikHealth, saat seseorang menahan buang air kecil, maka kandung kemih akan melar atau meregang. Hal ini akan membuat pompa di kandung kemih tidak bisa berfungsi dengan baik saat buang air kecil, sehingga tak jarang banyak orang yang baru selesai buang air kecil, tak lama kemudian akan timbul kembali rasa ingin kencing.
"Urine yang tersisa banyak di kandung kemih membuat saluran tersebut mudah terkena infeksi bakteri. Tapi jika akibat menahan tersebut membuat pompa kandung kemih memberikan tekanan yang tinggi, maka bisa mengakibatkan kerusakan ginjal," ungkap dokter yang berpraktek di RSCM dan RS ASRI ini.
9.11.10
Money : What You Need Vs What You Want
INI minggu penuh pelajaran berharga bagi saya. Diawali dari terjebak kemacetan total Jakarta samapai larut malam, dikejar deadline - termasuk penulisan kolom ini, hingga keharusan menuntaskan beberapa kewajiban lain. Saat terjebak macet, jari jemari ini cepat sekali mengetik celoteh nggak penting di twitter untuk memuaskan perasaan sebal karena terjebak terjebak lebih dari 4 jam di mobil, jadi tips karena lelah. Kesabaran cuma sekadar kata.
We are not the central of the universe-stop thinking and acting as if we are...Apa yang saya alami tentu tidak sebanding dengan derita yang dialami para korban banjir Wasior atau tsunami di Mentawai atau letusan Gunung Merapi. Namun, berhubung macet dan ribet dialami sendiri, maka terasa lebih nyata. Atas nama kebutuhan sering kali saya melupakan alasan bekerja. Atas nama mengejar setoran, tidak jarang saya membiarkan diri menjadi sedemikian sibuk. Bagaimana dengan anda?
Money really matters when you don't have any. Apa jadinya bila kita kehilangan seluruh harta benda? Bagaimana kalau kehilangan segalanya? Uang dan seluruh atribut karier terasa lebih penting saat tidak ada di sekitar kita. Bagi yang mendambakan punya Rp 1 miliar di bank dipastikan tidak punya uang sebanyak itu. Siapa pun yang berpikir uang akan membawa kebahagiaan hampir dipastikan tidak pernah tercukupi dan tidak akan pernah bahagia.
Seriously, we need lot less than we think. Apakah memang butuh punya mobil keluaran terbaru setiap tahun? Apakah memang perlu memperbaharui gadget setiap kali model terbaru muncul? Apakah memang harus punya lebih dari 1 rumah tinggal? Jawabannya terserah pada definisi keperluan, kebutuhan dan keharusan pada masing-masing orang.Selain itu, kalaupun bermakna saat kita tiada.
How much of everything can we personally consume? Kehidupan bisa diibaratkan sebagai cash-flow. Membangun kekayaan memang menyenangkan, terlebih saat berlebih. Namun, neraca kehidupan hanya bermakna saat kita tiada.
How much do you have to pay to fall in love? Teman baru saya Santo Aboe (@St_Aboe) pengusung tulisan #fatwacinta pernah berujar cinta bukan komoditas dan jangan pernah dikomoditaskan. Pada kesempatan berbeda, kenalan baru twitter punya Putri Sentanu (@PutriSentanu) juga berbagi kisah hidup yang sanat menyentuh. Pada ujung ceritanya, Putri menyampaikan, "what comes from the heart touches the heart". Mendangar keduanya, saya pun terdiam dan berdoa agar tersadar.
Saya tutup kolom #Ultimate-U hari ini dengan menyetir Erich Fromm, seorang filsuf kontemporer yang manganjurkan pendakatan berikut dalam menjalani karier dan kehidupan, "Be who you are-DO what you love and HAVE what you need. Itu doa saya untuk kita semua. Amien
Rene Suhardono - CareerCoach
Penulis buku: " Your Job is NOT Your Career"
Follow my twitter: @reneCC
7.9.10
Beware Of What You Want
.
Sometimes I wonder why God didn't list the Ten Commandments in reverse order, since the 10th commandment correlates to the first sin—desire. Eve's sin wasn't simply her desire for a piece of fruit; it was the desire for knowledge that Satan told her would make her like God (Gen. 3:5). Eve's covetousness caused her to violate both the first and tenth commands that God later gave to Moses.
When we don't covet, we pretty much eliminate our reasons to disobey the other commands. Wanting what isn't ours causes us to lie, steal, commit adultery, murder, and refuse to honor our parents. We refuse to rest because we can't get what we want in 6 days of work. We misuse God's name when we use it to justify something that we want to do. We make gods out of wealth and relationships because we don't want to have to put all our trust in God.
I have a hard time coming up with sins that don't involve some form of covetousness. Yet because it's the last in the list, we tend to think of it as being the least important. But it's not. When we stop sin while it is still in our hearts and heads, we avoid making others the victim of our sin, and we avoid many of the serious consequences of sin.
.
.
Something Better
.
Abel doesn't seem to fit in the first half of Hebrews 11. He's the first "ancient" listed, but his story isn't like the others mentioned there. Enoch went to heaven without dying. Noah saved mankind. Abraham started a people group. Isaac was a noted patriarch. Joseph rose to the top in Egypt. Moses led the greatest exodus ever.
Clearly, their faith was rewarded. By faith, they did what God asked, and He poured out blessings on them. They saw God's promises fulfilled before their eyes.
But Abel? The second son of Adam and Eve had faith, and what did he get for it? Murdered. That sounds more like the folks in verses 35-38, who found that trusting God doesn't always lead to immediate blessing. They faced "mockings," "imprisonment," and being "sawn in two." "Thanks, but no thanks," we might say. We would all prefer to be heroic Abraham instead of someone "destitute, afflicted, tormented" (v.37). Yet in God's plan, there are no guarantees of ease and fame even for the devout.
While we might experience some blessings in this life, we may also have to wait until "something better" (v.40) comes along—the completion of God's promises in Glory. Until then, let's keep living "by faith."
Press on in your service for Jesus,
Spurred on by your love for the Lord;
He promised that if you are faithful,
One day you'll receive your reward. —Fasick
What is done for Christ right now will be rewarded in eternity.
.
.
It’s Not Fair
.
"Not fair!" Whether you've said it or at least thought it, you've got to admit, it's hard to see someone get away with something and not get what they deserve. We learn this early in life. Just ask the parent of any teenager. Kids hate to see their siblings get off scot-free for the things they got spanked for. Which is why they so readily tattle on each other. But then, we never really grow out of this. To our way of thinking, fairness means sinners deserve God's wrath and we, the good people, deserve His applause.
But if God were into being "fair," we would all be consumed by His judgment! We can be thankful for this: "[God] has not dealt with us according to our sins" (Ps. 103:10). We should be glad, not grumpy, that God chooses mercy over fairness and that He is willing to extend grace even to those who are undeserving and hopelessly lost. And while we are thinking about it, when was the last time we let mercy trump fairness with someone who offended us?
It's not God's fairness but His mercy that drives Him to pursue us so that heaven can have a party when we are found (Luke 15:7). Personally, I'm thankful that God has not been "fair" with me! Aren't you?
Favor to the undeserving;
Love, when from God we have turned;
Mercy, when His love we've spurned—
That's God's grace! —Anon.
We can show mercy to others because God has shown mercy to us.
.
.
29.7.10
Posisi tidur yang sehat
.
.
Jakarta, Kebanyakan orang tidak mengubah posisi tidurnya karena sudah menjadi kebiasaan. Tapi terkadang orang merasa lelah, badan sakit atau capek ketika bangun tidur. Salah satu penyebabnya adalah posisi tidur yang tidak pas. Ketahui posisi tidur yang sehat untuk tubuh.
Posisi tidur tertentu memang diketahui lebih sehat daripada yang lain. Selain itu perubahan cara berbaring di tempat tidur juga turut berperan memberikan tubuh yang sakit ketika bangun di pagi hari.
Dikutip dari BBCNews, Selasa (27/7/2010) Profesor Chris Idzikowski, direktur dari Sleep Assessment and Advisory Service menuturkan ada beberapa posisi tidur, yaitu:
1. Posisi Janin
Yaitu meringkuk seperti posisi janin di dalam rahim. Posisi ini menggambarkan orang yang tangguh di luar tapi memiliki hati yang sensitif, biasanya akan malu-malu ketika baru pertama kali bertemu seseorang tapi cepat menjadi rileks.
2. Posisi Log
Yaitu berbaring di sisi dengan kedua lengan lurus di samping sisi. Posisi ini menggambarkan seseorang yang mudah bersosialisasi dan menjadi bagian dalam kerumunan orang, tapi gampang percaya dengan orang asing sehingga mudah tertipu.
3. Posisi Yearner
Yaitu berbaring ke salah satu sisi dengan kedua tangan terbuka ke depan. Posisi ini menggambarkan seseorang memiliki sifat terbuka, tapi bisa menjadi orang yang curiga dan sinis. Selain itu pada umumnya lambat mengambil keputusan, tapi tidak pernah mengubah keputusan yang sudah dibuatnya.
4. Posisi Tentara
Yaitu berbaring dengan punggung atau terlentang dengan kedua lengan menempel di sisi. Posisi ini menggambarkan seseorang yang pendiam dan tenang, tidak suka keributan, bisa mengatur dirinya sendiri dan memiliki standar yang tinggi.
5. Posisi Terjun Bebas
Yaitu badan tertelungkup dengan posisi tangan berada di sekitar bantal dan kepala berpaling ke satu sisi. Posisi ini menggambarkan orang yang suka bergaul, ceroboh, berani, tidak suka kritik atau situasi yang ekstrim.
6. Posisi Bintang Laut
Yaitu berbaring dengan punggung (terlentang) dengan kedua tangan berada di sekitar bantal. Posisi ini menggambarkan seseorang yang selalu siap mendengarkan orang lain, suka menawarkan bantuan tapi tidak suka menjadi pusat perhatian.
Selain itu Profesor Idzikowski juga memeriksa berbagai pengaruh posisi tidur terhadap kesehatan orang tersebut.
Diungkapkan bahwa posisi tidur yang sehat adalah posisi janin, karena dapat menjaga ketegangan dari tulang punggung sehingga seseorang akan bangun di pagi hari dengan lebih nyaman.
Sementara itu posisi bintang laut dan tentara cenderung menyebabkan orang tidur mendengkur dan mendapatkan tidur malam yang buruk.
"Kedua posisi tubuh tersebut memang belum tentu membuat seseorang terbangun, tapi bisa menyebabkan seseorang tidak akan segar saat bangun di pagi harinya dan terkadang menimbulkan sakit," ungkapnya.
Selain posisi tidur ada juga hal-hal lain yang dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang, yaitu tempat tidur yang digunakan dan juga suhu di kamar tidur. Karena suhu yang terlalu panas atau terlalu dingin akan mengganggu waktu tidur seseorang. Memiliki kualitas tidur yang baik akan sangat mempengaruhi produktivitas seseorang.
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa kebanyakan orang tidak mengubah posisi tidurnya dan hanya sekitar 5 persen responden saja yang memiliki posisi tidur berbeda-beda setiap malamnya.
Penn.
.
.
4.5.10
Tentang Bahasa Roh
BAHASA ROH MENURUT CALVIN DAN IMPLIKASINYA BAGI GEREJA MASA KINI oleh: Pdt. Drs. Timotius Fu, M.Div., M.Th. Beberapa tahun lalu, saya berkesempatan mengikuti sebuah seminar theologi yang dipimpin oleh seorang pendeta terkenal dari Amerika Serikat. Sebelum seminar dimulai, sekitar 2000 peserta yang hadir diajak terlebih dahulu mengikuti acara Praise and Worship. Setelah menyanyi beberapa pujian, tiba-tiba musik diperlambat dan pembawa acara mengangkat tangan, menutup mata, dan mulutnya mengeluarkan “komat-kamit” suku kata-suku kata yang tidak dimengerti oleh seorang pun. Kontan, sebagian besar peserta mulai mengikuti apa yang dilakukan oleh pembawa acara tersebut. Akibatnya, suasana jadi ribut dengan bahasa-bahasa aneh, teriakan-teriakan yang liar, serta sebagian peserta terlihat menangis atau ketawa tidak terkendali. Setelah “pertunjukan” tersebut berlangsung sekitar 20 menit, pembawa acara mengumumkan bahwa tiba saatnya para peserta mengusir segala kuasa gelap dan gangguan lainnya dari dalam ruang pertemuan, dan untuk itu semua yang hadir harus melakukannya dengan “berbahasa roh.”1 Di bawah komando sang pembawa acara, kembali ruangan kebaktian menjadi ribut dan kacau, masing-masing mengeluarkan bunyi-bunyian aneh yang bagi mereka adalah “bahasa roh” yang dipakai untuk mengusir Setan dan para pengikutnya dari ruangan tersebut. Menyaksikan fenomena seperti itu, perasaan saya bercampur baur, ada rasa takut sehingga bulu kuduk berdiri, ada rasa canggung karena menjadi orang “aneh” di tengah-tengah mereka, dan ada rasa ingin tahu apa yang selanjutnya akan terjadi. Dalam kondisi itu muncul dalam pikiran saya sebuah seri pertanyaan: “Seandainya John Calvin masih hidup dan hadir dalam kebaktian ini, bagaimana reaksinya? Apakah dia akan menerima dan mempraktikkan hal yang sama? Atau dia akan menentang, bahkan mengajarkan fenomena tersebut sebagai tindakan yang tidak alkitabiah?” Untuk menjawab pertanyaan-pertanya an di atas, tulisan ini disajikan dengan harapan agar kita semua memiliki pandangan yang tepat tentang natur dari karunia bahasa roh serta implikasinya bagi kehidupan bergereja masa kini. PENGAJARAN CALVIN TENTANG BAHASA ROH Natur Bahasa Roh Calvin secara konsisten menafsirkan fenomena bahasa roh sebagai kemampuan untuk berbicara dalam bahasa asing yang sama sekali tidak pernah dipelajari oleh pembicara sebelumnya. Hal ini terlihat jelas dari komentarnya atas peristiwa dan pengajaran mengenai karunia bahasa roh yang tercatat dalam Alkitab, baik di Kisah Para Rasul maupun 1 Korintus 12-14. Mengomentari fenomena berbahasa roh yang terjadi pada hari Pentakosta, ia menulis: He showeth that the effect did appear presently, and also to use their tongues were to be framed and applied. But because Luke setteth down shortly after, that strangers out of divers countries hear the apostles speaking in their own tongue. . . . I suppose that it doth manifestly appear hereby that the apostles had the variety and understanding to tongues given them, that they might speak unto the Greek in Greek, unto the Italians in the Italian tongue, and that they might have true communication (and conference) with their hearers.2 Hal yang sama diungkapkan dalam khotbahnya di hari Pentakosta: How then were the Apostles, having always been isolated as foolish and unlearned people in this corner of Judea, able to publish the Gospel to all the world, unless God accomplished what He had previously promised: namely, that He would be known by all tongues and by all nations?3 Terhadap kejadian serupa yang tercatat di rumah Kornelius (Kis. 10), Calvin hanya memberi dua kalimat untuk menjelaskan natur dari bahasa roh, yakni: “He expresseth what gifts of the Spirit were poured out upon them, and therewithal he noteth the use; to wit, that they had variety of tongues given them, so that they did glorify God with many tongues.”4 Penafsiran yang sama ditunjukkan Calvin ketika ia mengomentari pengajaran rasul Paulus di 1 Korintus 12-14. Secara spesifik ia menuliskan bahwa “in the use of the word tongue, there is not a pleonasm (a figure of speech – involving a redundancy of expression). . . . The term denotes a foreign language.”5 Selanjutnya, berulang kali—dalam bagian Alkitab ini—ia mengartikan karunia bahasa roh sebagai kemampuan yang diberikan kepada Roh Kudus kepada seseorang untuk berbahasa asing tanpa terlebih dahulu mempelajarinya, misalnya: “karunia untuk berkatakata dengan bahasa roh” (12:10) ditafsirkan sebagai kemampuan untuk berbicara bahasa bangsa asing;6 “berdoa dengan bahasa roh” (14:14) diartikan sebagai “to frame a prayer in a foreign language”;7 dan bahasa roh bagi orang percaya di kota Korintus yang dianalogikan dengan bahasa Ibrani dan Yunani bagi Calvin dan orang sezamannya.8 Dengan penafsiran di atas, Calvin menyangkal kemungkinan untuk menafsirkan praktik bahasa roh sebagai suatu kepenuhan Roh Kudus yang menghasilkan fenomena ecstatic dengan mengucapkan bunyi-bunyian atau suku kata-suku kata yang sepenuhnya bukan bahasa manusia, sehingga menjadi asing bagi segala bangsa.9 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bagi Calvin, karunia berbahasa roh dalam Alkitab hanya memiliki satu makna, yakni sebuah karya Roh Kudus atas orang percaya sehingga mampu berbahasa asing tanpa terlebih dahulu mempelajarinya. Selanjutnya, pandangan ini yang mewakili pandangan Calvin dalam tulisan ini. Fungsi Bahasa Roh Di mata Calvin, bahasa roh adalah sebuah karunia yang diberikan oleh Roh Kudus kepada orang percaya.10 Namun, karunia ini—sama seperti karunia yang lainnya juga—tidak serta merta diberikan kepada semua orang11 pada setiap saat, tetapi hanya diberikan oleh Roh Kudus dalam kondisi tertentu dengan tujuan tertentu.12 Sesuai dengan keyakinannya, semua karunia roh diberikan Roh Kudus kepada orang percaya dengan satu tujuan utama, yakni untuk membangun tubuh Kristus, sehingga penerapan karunia apa pun kalau bukan bertujuan membangun tubuh Kristus adalah pelanggaran dari tujuan Roh Kudus memberikan karuniakarunia tersebut.13 Sesuai dengan penjelasan di atas, karunia bahasa roh juga harus dipraktikkan demi pembangunan tubuh Kristus, yakni: pertama, karunia bahasa roh diberikan dalam hubungan yang sangat erat dengan pekabaran Injil. Tujuan karunia bahasa roh dalam aspek ini secara khusus ditemukan dalam catatan di Kisah Para Rasul. Pada saat itu, para rasul atau pekabar Injil di abad pertama mengalami keterbatasan karena faktor bahasa. Dengan memberikan kemampuan berbahasa asing kepada para rasul, Allah telah menghilangkan salah satu penghalang utama pekabaran Injil. Hal ini dapat dibaca lewat komentarnya atas peristiwa para murid berbahasa roh pada hari Pentakosta: The diversity of tongues did hinder the gospel from being spread abroad any farther; so that, if the preachers of the gospel had spoken one language only, all men would have thought that Christ had been shut up in the small corner of Jewry.14 Dalam khotbahnya di hari Pentakosta, ia juga mengungkapkan bahwa Roh Kudus memberikan manifestasi bahasa roh kepada para rasul dengan dua tujuan, yakni agar Injil dapat disampaikan kepada segala bangsa dalam bahasa mereka masing-masing dan agar konsep yang salah bahwa keselamatan hanya disediakan bagi bangsa Yahudi dapat dibuang, seperti yang dapat dibaca lewat kutipan berikut ini: It is true that it is said that all will speak the Hebrew language in order to join in a true faith, but the truth is better declared to us when it is said that all believers, from whatever region they may be, will cry, “Abba, Father,”invoking God with one accord; although there may be diversity of language. That, then, is how the Spirit of God wished to display His power in these tongues, in order that the Name of God might be invoked by all and that we might together be made partakers of this covenant of salvation which belonged only to the Jews until the wall was torn down.15 Pendapat di atas diperkuat dengan pernyataan dari rasul Paulus bahwa “karunia bahasa roh adalah tanda, bukan untuk orang yang beriman, tetapi untuk orang yang tidak beriman” (1Kor. 14:22). Bagi Calvin, kalimat di atas berarti karunia ini berfungsi sebagai sebuah mukjizat untuk dipertunjukkan kepada orang yang belum percaya agar mereka diyakinkan untuk menerima Injil, seperti yang dapat dibaca dari tulisannya: The advantages derived from tongues were various. They provided against necessity— that diversity of tongues might not prevent the Apostles from disseminating the gospel over the whole world: there was, consequently, no nation with which they could not hold fellowship.16 Hasil dari pekabaran Injil adalah bangsa-bangsa yang datang dari aneka ragam latar belakang dan bahasa dapat bersatu di hadapan Tuhan, seperti yang tertuang dalam pikirannya: “But God did furnish the apostles with the diversity of tongues now, that he may bring and call home, into a blessed unity, men which wander here and there.”17 Konsep yang sama diungkapkannya ketika mengomentari kejadian di rumah Kornelius (Kis. 10:46) dengan mengatakan bahwa “that the tongues were given them . . . seeing the gospel to be preached to strangers and to men of another language.”18 Kedua, praktik bahasa roh dalam pertemuan jemaat. Bagi Calvin, bahasa roh—sama dengan karunia yang lain—memiliki satu tujuan utama, yakni untuk membangun jemaat19 dan membawa berkat bagi semua orang (for the common benefit).20 Supaya dapat membangun jemaat, maka semua bentuk praktik bahasa roh harus dapat dimengerti oleh orang-orang yang hadir dalam pertemuan ibadah tersebut, seperti yang dapat dibaca dalam tulisannya: For the gift of tongues was conferred— not for the mere purpose of uttering a sound, but, on the contrary, with the view of making a communication. For how ridiculous a thing it would be, that the tongue of a Roman should be framed by the Spirit of God to pronounce Greek words, which were altogether unknown to the speaker, as parrots, magpies, and crows, ar taught to mimic human voices!21 Sesuai dengan pengajaran rasul Paulus di 1 Korintus 12-14, Calvin menerapkan prinsip bahwa dalam setiap pengajaran yang menggunakan bahasa roh harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh semua pendengar; dan seandainya tidak ada penerjemah, maka tidak seorang pun diizinkan berbicara dengan bahasa roh dalam pertemuan ibadah.22 Baginya, karunia bahasa roh yang dipadukan dengan karunia menerjemahkan menghasilkan karunia bernubuat, seperti ungkapannya: “For if interpretation is added, there will then be prophecy.”23 Sebaliknya, praktik bahasa roh yang tidak diterjemahkan dalam sebuah pertemuan ibadah merupakan sebuah pelanggaran atau penyalahgunaan, yang digambarkan Calvin dengan berbagai istilah berikut: (1) Misdirected ambition: sebuah ambisi untuk menyombongkan diri24 atau mempertontonkan kehebatan pribadi dalam barbahasa asing di balik praktik berbahasa roh di hadapan umum;25 untuk hal ini Calvin menyebut bahasa roh sebagai empty vauntings.26 (2) Speaking to no purpose: sebuah praktik berbahasa asing yang tidak membawa manfaat apa pun bagi pendengar, yang menurut Calvin bahwa “thy voice will not reach either to God or man, but will vanish into air.”27 (3) Speaking as a barbarian: sebuah manifestasi bahasa roh yang membingungkan para pendengar karena pada dasarnya tidak ada seorang pun yang mengerti;28 para pendengar pada gilirannya nanti akan menghina mereka yang berbahasa roh, yang oleh Calvin digambarkan sebagai “how foolish then it is and preposterous in a man, to utter in an assembly a voice which the hearer understand nothing – in which he perceives no token from which he may learn what the person means!”29 Ketiga, praktik bahasa roh dalam doa orang percaya. Sehubungan dengan hal ini, Calvin berpegang kepada prinsip bahwa semua doa harus diucapkan dalam bahasa yang dapat dimengerti. Baginya, doa tanpa pengertian tidak mungkin diterima oleh Allah, seperti yang dapat dibaca dalam tulisannya: “But this must be fully admitted: that it is by no means possible, either in public prayer or in private, that the tongue without the heart is accepted by God.”30 Di bagian lain, ia menulis bahwa berdoa dalam bahasa roh namun tanpa pengertian adalah sebuah pelanggaran atas fungsi dan tujuan dari karunia tersebut, sehingga tindakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak berkenan kepada Allah.31 Ia bahkan mengritik gereja Katolik Roma yang saat itu mempraktikkan hal ini, menurutnya: It is also plain that public prayers are not to be couched in Greek among the Latins, nor in Latin among the French or English (as hitherto has been everywhere practiced), but in vulgar tongue, so that all present may understand them, since they ought to be used for the edification of the whole Church, which cannot be in the least degree benefited by a sound not understood.32 Hal yang sama juga diajarkannya mengenai doa pribadi ketika ia menulis bahwa “the tongue is not even necessary to private prayer.”33 Namun, ia memberikan sebuah pengecualian penggunaan bahasa roh dalam doa, yakni ketika seseorang dalam kondisi yang sedemikian rupa sehingga tidak mampu mengucapkan kata-kata dan secara spontan mengeluarkan bahasa roh atau bahasa tubuh lainnya. Tetapi, dalam kondisi demikian pun, orang tersebut tidak boleh kehilangan pengendalian atas pikiran dan pengertian, seperti yang ia tuliskan: For although the best prayers are sometimes without utterances, yet when the feeling of the mind is overpowering, the tongue spontaneously breaks forth into utterance, and our other members in gesture. Hence that dubious muttering of Hannah (1Sam. 1:13), something similar to which is experienced by all saints when concise and abrupt expressions escape from them..34 IMPLIKASI DARI PENGAJARAN CALVIN BAGI GEREJA MASA KINI Tidak dapat disangkal bahwa sejarah gereja mencatat Calvin sebagai salah satu “bintang yang paling bersinar di tengah-tengah masa kegelapan gereja.”Buah pemikiran dan karyanya telah menjadi salah satu acuan utama kehidupan bergereja sepanjang masa, salah satunya adalah berhubungan dengan pengajarannya tentang karunia bahasa roh. Pemaparan pengajaran di atas membawa beberapa implikasi praktis bagi kalangan orang percaya hari ini. Pertama, karunia bahasa roh tidak berfungsi sebagai penentu tingkat spiritualitas seseorang. Zaman ini, terdapat kelompok-kelompok tertentu yang mengajarkan bahwa kemampuan berbahasa roh merupakan tanda tingginya tingkat kerohanian seseorang,35 bahkan tidak sedikit yang menjadikannya sebagai prasyarat untuk menerima keselamatan.36 Pandangan demikian telah dianulir oleh pengajaran Calvin yang menyatakan bahwa karunia bahasa roh hanya memiliki dua fungsi, yakni sebagai alat untuk mengabarkan Injil dan sebagai alat untuk membangun jemaat. Dengan kata lain, dalam pandangannya, bahasa roh tidak ada hubungan dengan tingkat spiritualitas seseorang. Baginya, tingkat spiritualitas seseorang ditentukan oleh ada tidaknya ia menyatu dengan Yesus Kristus dalam semua aspek kehidupan sehari-hari, seperti yang dapat dibaca dari tafsirannya terhadap perumpamaan tentang pohon anggur dan carang-carangnya: Now, there are three principal parts; first, that we have no power of doing good but what comes from himself; secondly, that we, having a root in him, are dressed and pruned by the Father; thirdly, that he removes the unfruitful branches, that they may be thrown into the fire and burned.37 Selanjutnya, berbicara tentang pruning, ia menulis: By these words, he shows that believers need incessant culture, that they may be prevented from degenerating. . . . When he says that the vines are pruned, that they may yield more abundant fruit, he shows what ought to be the progress of believers in the course of true religions.38 Masih dalam konteks yang sama, ia menyimpulkan bahwa: Christ has no other object in view than to keep us as a hen keepeth her chickens under her wings (Matth. xxiii. 37), lest our indifference should carry us away, and make us fly to our destruction. In order to prove that he did not begin the work of our salvation for the purpose of leaving it imperfect in the middle of the course, he promises that his Spirit will always be efficacious in us, if we do not prevent him.39 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa spiritualitas dapat diumpamakan dengan carang-carang yang bergantung sepenuhnya kepada pohon untuk mendapatkan makanan, perawatan, dan perlindungan agar dapat menghasilkan banyak buah. Pandangan Calvin di atas juga didukung oleh beberapa penulis modern. Di antaranya adalah Dallas Willard yang mengartikan spiritualitas sebagai sebuah renovation of the heart, sebuah proses di mana seseorang menerima kehidupan yang baru dari Yesus Kristus dan secara konstan hidup di dalam hadirat-Nya untuk menerima makanan rohani bagi setiap hari.40 Pernyataan yang senada juga diungkapkan oleh R. Paul Stevens dan Michael Green yang mengartikan spiritualitas sebagai sebuah kehidupan yang dipenuhi dengan pengalaman bersama Allah, sehingga orang-orang percaya dapat menemukan Allah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk di dalamnya pekerjaan, hubungan dengan sesama, dan kehidupan di gereja serta dunia.41 Bagi mereka, spiritualitas yang sejati hanya dapat dicapai dengan ketaatan kepada pengajaran Alkitab dan sebuah hati yang takut akan Allah.42 Sementara itu, Barry L. Callen mengungkapkan bahwa spiritualitas Kristen lebih dari sekadar usaha mencari Tuhan lewat pengajaran dan liturgi keagamaan, melainkan sebuah hati yang terpanggil dan siap untuk mengiring Tuhan dan terbuka untuk dipimpin oleh Roh Kudus dalam kehidupan setiap hari, For the church to be authentically Christian, spiritual as God intends, the primary influences must be an intentional alliance with Jesus Christ and a genuine openness to the power of the Holy Spirit. . . . The Spirit wants to move the church beyond the spiritual deadness of mere religion.43 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Kristen yang sejati ditemukan di dalam hubungan yang erat dan konstan dengan Yesus Kristus, dengan firman Allah, dengan ketaatan kepada pengajaran Allah. Karunia bahasa roh mutlak tidak dapat membawa orang percaya kepada tingkat tersebut karena Roh Kudus tidak memberikan karunia ini untuk mencapai tujuan tersebut. Kedua, manifestasi karunia bahasa roh dalam pertemuan jemaat harus dilaksanakan dalam konteks membangun jemaat. Calvin tidak pernah melarang orang berbahasa roh, namun ia selalu memegang prinsip bahwa dalam pertemuan jemaat, karunia bahasa roh harus dipraktikkan untuk kebaikan semua yang hadir serta berjalan dengan tertib dan lancar. Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang terjadi dalam pertemuan atau kebaktian di kalangan tertentu. Hari ini tidak sulit ditemukan kelompok orang percaya, atas nama sebuah puji dan sembah dalam ibadah, secara simultan mengucapkan (lebih tepat meneriakkan) kalimat-kalimat dalam suku kata yang tidak dapat dimengerti manusia (unintelligible) dalam suasana yang kacau dan tidak terkendali. Adakah manfaat dari fenomena tersebut? Jawabannya adalah tidak, baik bagi yang mempraktikkan atau yang menyaksikan, karena pada dasarnya apa yang diucapkan tidak dimengerti oleh siapa pun juga. Jika ada orang yang mengaku bahwa sewaktu atau setelah mempraktikkan apa yang mereka sebut sebagai bahasa roh tersebut, mereka merasa “lebih dekat kepada Allah, lebih rohani, lebih sukacita, atau melihat kemuliaan Allah,” semua pengakuan tersebut tentu tidak dapat dipertanggungjawabk an secara alkitabiah, karena Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa bahasa roh berfungsi untuk hasil-hasil yang disebutkan di atas. Jadi, apa yang sudah dilakukan di atas bukan hanya tidak membawa berkat, sebaliknya Calvin sudah memperingatkan bahwa mereka sangat mungkin dianggap sebagai orang yang memiliki misdirected ambition untuk menampilkan sebuah pertunjukan rohani agar dinilai lebih hebat, lebih suci, atau lebih rohani. Sedangkan, bagi para pendengar atau mereka yang tidak mempraktikkan, kejadian tersebut alih-alih membawa berkat atau manfaat, sebaliknya tentu menciptakan sebuah kebingungan yang besar, karena pada dasarnya mereka sama sekali tidak mengerti apa yang sedang diucapkan atau apa yang sedang terjadi. Kejadian seperti itulah yang digambarkan oleh Calvin sebagai praktik speaking to no purpose atau speaking as a barbarian. Dengan kata lain, apa yang sedang terjadi sebenarnya merupakan sebuah penyalahgunaan atau penyimpangan dari karunia yang diberikan oleh Roh Kudus,44 sehingga kebaktian atau ibadah yang dipenuhi dengan fenomena seperti itu tentu bukan hal yang berkenan kepada Tuhan. Ketiga, karunia bahasa roh tidak berperan di dalam gerakan kebangunan rohani. Pembahasan mengenai Calvin tidak pernah lepas dari konteks Reformasi gereja pada abad ke-16. Dalam catatan sejarah gereja, gerakan Reformasi gereja merupakan sebuah kebangunan rohani yang tidak tertandingi, baik dari segi luasnya pengaruh maupun pembaharuan spiritualitas orang percaya. Uniknya, selama proses gerakan ini tidak tercatat sedikit pun peran karunia bahasa roh di dalamnya.45 Kenyataan di atas seharusnya tidak membuat kita heran karena pada dasarnya karunia bahasa roh diberikan oleh Roh Kudus bukan untuk tujuan kebangunan rohani, seperti yang dijelaskan lewat pengajaran Calvin di atas serta kenyataan bahwa sejarah tidak merekam sedikit pun jejak praktik bahasa roh dalam kehidupannya. Memang, hari ini cukup banyak gereja yang mengalami “kebangunan rohani”46 mengaku bahwa sumber kebangunan tersebut adalah karunia bahasa roh. Namun, pengakuan tersebut perlu diimbangi dengan kenyataan bahwa tidak semua gereja yang berbahasa roh mengalami kebangunan rohani dan sebaliknya tidak semua gereja yang mengalami kebangunan rohani berbahasa roh. Lagi pula, tidak sedikit “kebangunan rohani” yang dimaksud lebih difokuskan kepada hal-hal lahiriah, seperti bertambahnya pengunjung kebaktian, jumlah persembahan, atau kesuksesan lahiriah lainnya; yang tentu bukan tolok ukur yang sebenarnya bagi sebuah kebangunan rohani yang sejati. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, penulis menyimpulkan beberapa hal: Pertama, natur bahasa roh yang dikaruniakan Roh Kudus kepada orang percaya adalah kemampuan seseorang untuk mengucapkan bahasa asing tanpa terlebih dahulu mempelajarinya. Bahasa asing yang dimaksud adalah bahasa manusia yang dapat dimengerti oleh pemakai aslinya. Kedua, Roh Kudus memberikan karunia ini dengan dua tujuan: sebagai alat untuk mengabarkan Injil dan sebagai alat untuk membangun jemaat. Oleh sebab itu, setiap aplikasi dari karunia ini harus diterapkan dalam koridor dua tujuan pemberian di atas. Ketiga, karunia bahasa roh dapat disalahgunakan, baik untuk tujuan menyombongkan diri dengan menjadikan karunia berbahasa roh sebagai bahan pertunjukan maupun dalam bentuk “kebodohan,” yakni mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti baik oleh pembicara maupun pendengar, sehingga apa yang dilakukan tidak mencapai tujuan apa pun juga serta tidak membawa manfaat kepada siapa pun juga. Keempat, karunia bahasa roh tidak dapat dijadikan baik sebagai tolok ukur tingkat kerohanian—apalagi sebagai prasyarat keselamatan—seseorang, maupun alat untuk mencapai kebangunan rohani sebuah Gereja, karena karunia ini diberikan bukan untuk tujuan tersebut. Catatan kaki: 1. “Bahasa roh” versi orang-orang yang mempraktikkannya dalam pertemuan tersebut. 2. Commentaries (Grand Rapids: Baker, 1984) 18.78-79. 3. “First Sermon on Pentecost”dalam John Calvin: Selections from His Writings (ed. John Dillenberger; Missoula: Scholars, 1975), hlm. 564. 4. Commentaries 18.453. 5. Commentaries 20.435 [penekanan oleh Calvin]. 6. Ibid., hlm. 403. 7. Ibid., hlm. 444. 8. Ibid., hlm. 459. 9. Calvin secara eksplisit mengungkapkan hal ini dengan menjelaskan bahwa istilah “another tongue”(yang diterjemahkan menjadi bahasa roh) berasal dari kata hetera glossa yang berarti a foreign or not known language—bahasa yang tidak dimengerti; bukan agnoste glossa yang berarti an unknown language—bahasa yang tidak dikenal (lih. catatan kaki no. 1 di Ibid., hlm.435). 10. Terbukti dari tulisannya yang menyebut fenomena ini sebagai “gift of the Spirit”(Commentaries 19.210; Commentaries 20.453). 11. Mengenai hal ini, ia menulis: “In the same place he affirmeth that it is a special gift, wherewith all men are not endued” (Commentaries 18.77). 12. Ibid., hlm. 453. 13. Institutes III.2.9. 14. Commentaries 18.75. 15. “First Sermon on Pentecost”, hlm. 564. 16. Commentaries 20.454. 17. Commentaries 18.75. 18. Commentaries 18.453. 19. Seperti yang ditulisnya: “In short, let us simply have an eye to this as our end—that edification may redound to the Church”(Commentaries 20.437). 20. Ibid., hlm.436. 21. Ibid., hlm. 445. 22. Ibid., hlm. 458-459. 23. Ibid., hlm. 437. 24. Ibid., hlm. 442. 25. Calvin ingin supaya orang yang berbahasa roh berdoa agar di tengah-tengah terdapat orang lain yang diberi karunia untuk menerjemahkan, kalau tidak, “let him abstain in the meantime from ostentation” (Ibid., hlm.443). 26. Ibid., hlm. 436. 27. Ibid., hlm. 440. 28. Calvin menulis: “For all hear a sound, but they do not understand what is said” (Ibid., hlm.435). 29. Ibid., hlm. 441. 30. “Concerning Prayer, Together with an Explanation of the Lord’s Prayer” dalam John Calvin: Selections from His Writings, hlm. 316. 31. Yakni: “The principle we must always hold is, that in all prayer, public or private, the tongue without the mind must be displeasing to God” (Institutes III.20.33). 32. Ibid. 33. Ibid. 34. Ibid. 35. Seperti pernyataan Larry Christenson, “Moving from theological to practical consideration, however, this pattern in its entirely— including speaking in tongues— can prove extremely helpful. For many people it has been a key to a deeper walk with the Lord, more power for serving Him, and for being an effective witness” (Speaking in Tongues and Its Significance for the Church [London: Fountain Trust, 1968], hlm. 54). Roberts Liardon juga menyuarakan hal yang sama dengan mengatakan bahwa bahasa roh akan membuat orang percaya menjadi lebih kuat, lebih peka secara rohani, terbangun imannya, mulutnya disucikan, rohnya disegarkan, dan mendapatkan kuasa untuk menjadi saksi (Mengapa Iblis Tidak Ingin Kita Berdoa dalam Bahasa Roh? [Jakarta: Metanoia, 2000], hlm. 33-37). 36. Terdapat kelompok tertentu yang mengajarkan bahwa setiap orang yang ingin diselamatkan harus terlebih dahulu menerima baptisan Roh Kudus yang ditandai dengan kemampuan berbahasa roh. Ini berarti bahwa bahasa roh adalah prasyarat keselamatan seseorang. Kalau ini benar, berarti Calvin dan banyak tokoh iman lainnya tidak diselamatkan karena tidak berbahasa roh sewaktu menerima baptisan Roh Kudus. 37. Commentaries 18.107. 38. Ibid., hlm. 108. 39. Ibid., hlm. 109. 40. Dalam hal ini, Willard menulis, “Man does not live on bread alone. Those are, of course words from Jesus. And this is truly the way of the heart or spirit. If we want to live fully, we must live with him at that interior level. And he gives this life as a gift. The spiritual renovation, the spiritual which comes from Jesus is nothing less than an invasion of natural human reality by a supernatural life from God. We can live by nourishing ourselves constantly on his presence, here and now, beyond his death and ours” (Renovation of the Heart [Leicester: InterVarsity, 2002], hlm. 5). 41. Dalam hal ini, Stevens dan Green menulis: “Spirituality, as we are defining here, is our lived experience of God in the multiple contexts of life in which the seeking Father finds us. This experience of God enables us to discover the transcendent meaning of everyday life including our work, relationships, life in the church and world” (Living the Story: Biblical Spirituality for Everyday Christians [Grand Rapids: Eerdmans, 2003] x). 42. Ibid., hlm. x-xii. 43. Authentic Spirituality: Moving Beyond Mere Religion (Grand Rapids: Baker, 2001), hlm. 19. 44. Atau bahkan tidak sedikit orang menganggap itu sebagai manifestasi dari kuasa gelap atau fenomena psikologis dari orang yang jiwanya terganggu (lih. E. Glenn Hinson, “The Significance of Glossolalia in the History of Christianity”dalam Speaking in Tongues: A Guide to Research on Glossolalia [ed. Watson E. Mills; Grand Rapids: Eerdmans, 1986], hlm. 189-193). 45. George W. Dollar menulis bahwa “Actually, speaking in tongues played no part in the Reformation movement” (“Church History and the Tongues Movement,” Bibliotheca Sacra 120/480 [October, 1963] hlm. 318). 46. Penulis sengaja menambahkan tanda kutip pada istilah “kebangunan rohani” karena banyak Gereja secara keliru mengidentikkan kebangunan rohani sebagai pertumbuhan kuantitas pengunjung kebaktian, kesuksesan hidup anggota jemaat, dan manifestasi mujizat di antara orang percaya. Sumber: VERITAS 10/1 (April 2009), hlm. 59-71 Profil Pdt. Timotius Fu: Pdt. Drs. Timotius Fu, M.Div., M.Th. adalah dosen Theologi Sistematika dan Praktika di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau menyelesaikan studi Doktorandus (Drs.) di Universitas Negeri Tanjungpura, Pontianak; Master of Divinity (M.Div.) di Singapore Bible College, Singapore; dan Master of Theology (M.Th.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio. “Tidak mau meminta nasihat dalam keputusan-keputusan berat merupakan tanda kesombongan dan ketidakdewasaan. Selalu ada orang yang mengenal Alkitab, sifat manusia, dan karunia serta keterbatasan kita sendiri, lebih baik daripada kita.” |